Simalungun, Selektifnews.com – Di tengah bentangan perbukitan hijau Simalungun, Sumatera Utara, sebuah kisah akulturasi budaya yang memukau terjalin. Kesenian Reog Ponorogo, tarian tradisional yang berasal dari Jawa Timur, telah lama mengakar dan kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya masyarakat setempat. Bagaimana kesenian ini bersemi di tanah Batak, dan bagaimana ia terus dilestarikan hingga kini, menjadi cerminan semangat multikulturalisme.
Ketua Umum Komunitas Reog Jawa Peranakan Sumatera Utara (KJRPS), Muhammad Dimas Pramana menjelaskan, perjalanan Reog Ponorogo ke Simalungun dimulai dari jejak migrasi masyarakat Jawa di masa lalu, yang datang sebagai buruh kontrak sekitar tahun 1999-2000.
Para pendatang ini tak hanya membawa harapan baru, tetapi juga tradisi dan kesenian mereka, termasuk Reog Ponorogo. Di tanah baru ini, Reog Ponorogo tidak hanya bertahan, melainkan juga beradaptasi dengan budaya lokal.
"Ada perpaduan yang indah antara Reog Ponorogo dengan unsur budaya Batak. Gerakan tari, musik, dan kostumnya memiliki sentuhan khas Simalungun," ungkapnya saat dikonfirmasi. Kamis (22/5/2025).
Adaptasi ini terlihat jelas dalam penggunaan beberapa **alat musik tradisional Batak** seperti **gondang** dalam pertunjukan Reog, meskipun alur musiknya tetap berbeda dengan gondang Simalungun. Selain itu, beberapa gerakan tari juga dipengaruhi oleh gerakan tari tradisional Simalungun, menciptakan sebuah harmoni yang unik.
Namun, Dimas juga menyoroti perbedaan mendasar antara Reog Ponorogo di Simalungun dengan aslinya di Jawa Timur.
"Banyak perbedaan, dimana Reog di Simalungun lebih fokus mengembangkan jaranan (kuda lumping)daripada Reog-nya sendiri," tegasnya.
Tak hanya itu, sebagian besar perlengkapan Reog di Simalungun diproduksi sendiri dan tarian Reog di sini telah banyak beradaptasi. Di Jawa Timur, Reog dan jaranan tidak disatukan karena memiliki makna dan fungsi yang berbeda; Reog ada Unsur Magis , sedangkan jaranan untuk menghibur raja. Dan masyarakat yang memiliki hajatan
"Namun, di Sumatera Utara, keduanya disatukan karena tidak ada penjajah yang membatasi ekspresi budaya, berbeda dengan masa kolonial di Jawa," ungkapnya.
Selain itu, perbedaan mencolok juga terletak pada konsep "kerajaan" atau "keraton" yang ada di Ponorogo.
"Kita di Sumatera Utara tidak ada kerajaan yang mengikuti alur sama seperti Republik ini," ujar Dimas.
Hal ini memberikan kebebasan bagi para seniman di Simalungun untuk berkreasi tanpa terikat aturan keraton. Faktor lain adalah komposisi masyarakat Simalungun yang beragam, di mana banyak marga Batak seperti Damanik, Sitorus, dan Sihotang turut mempelajari kesenian ini.
Di Simalungun, Dimas mengatakan terdapat 46 sanggar seni yang menjadi pusat pelestarian Reog Ponorogo. Jumlah ini meningkat pesat dari hanya 14 sanggar pada tahun 2019. Para seniman muda dan tua berlatih bersama, mewariskan ilmu dan keterampilan dari generasi ke generasi.
"Kami ingin generasi muda Simalungun terus mencintai dan melestarikan Reog Ponorogo. Ini adalah warisan budaya yang tak ternilai," kata Dimas.
Setiap akhir pekan, sanggar ini ramai dengan anak-anak muda yang antusias belajar menari, memainkan alat musik, dan membuat kostum Reog. Semangat mereka menjadi harapan bagi keberlangsungan kesenian ini di masa depan. KJRPS sendiri menaungi 179 sanggar Reog Ponorogo di seluruh Sumatera Utara, dengan total 13.000 anggota aktif di Simalungun.
Lebih lanjut, Reog Ponorogo di Simalungun tidak hanya ditampilkan dalam pertunjukan seni, tetapi juga menjadi bagian dari upacara adat dan festival budaya. Kehadirannya menambah semarak acara dan menjadi daya tarik bagi wisatawan.
"Reog Ponorogo menjadi simbol kebersamaan dan kegembiraan. Setiap kali ditampilkan, selalu menarik perhatian banyak orang," tuturnya.
Salah satu festival budaya yang menampilkan Reog Ponorogo adalah F1 Powerboat Danau Toba 2024. Dalam ajang Internasional ini, Reog Ponorogo tampil bersama kesenian tradisional lainnya dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Kolaborasi semacam ini menunjukkan bahwa Reog Ponorogo telah diterima sebagai bagian dari keragaman budaya Sumatera Utara, meskipun tidak ada pencampuran langsung antara tarian Reog dengan tarian tradisional Simalungun.
Meskipun Reog Ponorogo telah mengakar kuat di Simalungun, Dimas mengaku tantangan tetap ada. Regenerasi seniman muda menjadi perhatian utama. Selain itu, promosi kesenian ini sebagai daya tarik wisata budaya juga perlu ditingkatkan.
Dimas Pramana juga menyoroti beberapa tantangan lain, seperti faktor usia pemain dan ketersediaan kostum yang belum memadai. Tantangan lain datang dari pemikiran kritis sebagian orang yang mengaitkan Reog Ponorogo dengan hal-hal yang bertentangan dengan agama, terutama Islam. Namun, Dimas menekankan bahwa Reog adalah ranah budaya, bukan akidah, dan keberadaannya adalah upaya melestarikan warisan leluhur.
"Walaupun modernisasi terus berjalan, kesenian ini tidak akan pernah mati," ujarnya optimis.
Peran pemerintah daerah dalam pelestarian ini juga penting. Di masa pemerintahan Bupati Anton Saragih, diharapkan adanya fasilitasi kegiatan di ruang terbuka hijau untuk berkumpul bagi para sanggar-sanggar. Di sisi lain, masih dibutuhkan dukungan lebih lanjut untuk pengembangan Reog Ponorogo di Simalungun, termasuk anggaran untuk menjangkau sanggar-sanggar di desa-desa.
Lebih lanjut, katanya, dampak sosial budaya dari kehadiran Reog Ponorogo sangat positif. Selain melestarikan budaya, kesenian ini juga turut menghidupkan UMKM dan pengrajin lokal yang membuat kostum dan perlengkapan Reog.
'Antusiasme masyarakat Simalungun, termasuk dari kalangan non-Jawa, sangat tinggi, bahkan banyak anak muda yang tertarik mempelajarinya," katanya.
Ia menambahkna, dengan semangat para seniman dan dukungan yang terus berkembang dari masyarakat dan pemerintah daerah, kesenian Reog Ponorogo di Simalungun akan terus hidup dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Simalungun, menunjukkan bahwa harmoni budaya dapat bersemi di mana saja.