Jakarta, selektifnews.com -- Kejaksaan Agung RI memperluas lingkup penyidikan dalam dugaan perintangan terhadap penegakan hukum dalam mega skandal korupsi nasional. Kamis (8/5/2025).
Empat sosok diperiksa sebagai saksi atas dugaan obstruction of justice dalam tiga perkara kakap yang melibatkan aktor-aktor besar negara dan dunia usaha.
Mereka adalah ER Aktifis Lingkungan Babel penggerak demonstrasi di Pangkal Pinang yang juga diketahui sebagai pelapor terhadap pakar lingkungan Prof. Bambang Hero; TB, Direktur Pemberitaan JAK TV; NA Owner Media Online Babel, penyebar pemberitaan miring dari Bangka; dan BYK, staf kantor AALF yang diduga terhubung dengan jaringan pelindung kepentingan bisnis tambang.
Pemeriksaan dilakukan oleh Tim Penyidik Direktorat Penyidikan JAM PIDSUS, dan menyasar dugaan keterlibatan mereka dalam menghambat proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan melalui berbagai metode tekanan sosial, propaganda media, serta dugaan manipulasi narasi hukum.
Sumber Kejagung menyebut, pemeriksaan ini bukan sekadar formalitas, tetapi upaya membongkar struktur perlawanan terhadap penegakan hukum yang sistematis.
Ketiga kasus besar yang terkait adalah:
- Skandal Tata Niaga Timah (PT Timah, Tbk – 2015–2022), yang ditengarai merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah.
- Korupsi Importasi Gula (Kementerian Perdagangan – 2015–2023), yang menyentuh kebijakan pangan nasional.
- Kasus Fasilitas Ekspor CPO (Januari–April 2022), dengan tersangka JS yang diduga terhubung ke lingkar kekuasaan dan pengusaha sawit besar.
Kejagung mencium adanya operasi senyap untuk membentuk opini publik, melemahkan integritas saksi, serta membungkam pengungkap fakta. Dari aksi massa di daerah hingga framing pemberitaan di media, semua kini ditelisik sebagai bagian dari strategi perintangan hukum.
“Pemeriksaan ini merupakan langkah penting untuk menelusuri siapa saja yang berada di balik upaya sistematis menggagalkan proses hukum dalam kasus-kasus korupsi strategis. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan publik yang direkayasa,” tegas salah satu sumber di lingkungan Kejagung.
Pasal yang dikenakan yakni Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi, yang mengancam pelaku obstruction of justice dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Hal ini menunjukkan bahwa perintangan hukum dipandang sebagai ancaman serius terhadap supremasi hukum.
Kejagung juga mengisyaratkan tidak akan segan menetapkan status hukum baru jika alat bukti cukup kuat.
Dengan kata lain, para saksi hari ini bisa saja menjadi tersangka esok hari jika keterlibatan mereka terbukti aktif dan berdampak signifikan.
Langkah Kejaksaan ini menjadi pesan keras bagi siapa pun—baik di dalam maupun luar sistem—yang mencoba mengganggu proses pemberantasan korupsi.
Ini bukan sekadar soal uang negara, melainkan menyangkut wibawa hukum dan masa depan keadilan di Indonesia.
(Gusweda/KBO Babel)