Parittiga Bangka Barat, Selektifnews.com – Desakan publik terhadap aparat penegak hukum kembali mencuat pascakecelakaan tragis tambang ilegal yang menewaskan seorang pekerja di Dusun Penganak, Kecamatan Parittiga Jebus, Kabupaten Bangka Barat. Kamis (29/5/2025).
Peristiwa memilukan itu terjadi di wilayah Kawasan Hutan Lindung Sungai Kebiang, tepatnya di lokasi tambang milik seorang warga setempat bernama Ambron alias Merro.
Kecelakaan maut itu terjadi pada Minggu, 4 Mei 2025. Seorang pekerja bernama Achmadi, akrab disapa Mat Tato, tewas mengenaskan setelah tertimbun longsoran tanah.
Sementara tiga rekannya—Dul, Roi, dan seorang anak dari Bari—harus dilarikan ke rumah sakit akibat luka-luka serius yang mereka alami.
"Empat orang jadi korban, satu meninggal dunia, tiga lainnya luka dan sedang dirawat," ungkap seorang narasumber berinisial JY kepada wartawan, Kamis (23/5).
Informasi yang berhasil dihimpun menyebutkan bahwa tambang tersebut sudah lama beroperasi secara ilegal, menggunakan sedikitnya empat unit alat berat jenis excavator.
Aktivitas tambang tersebut dilakukan secara terang-terangan di dalam kawasan hutan lindung, tanpa izin resmi, dan menurut warga telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Salah satu tokoh masyarakat Parittiga yang enggan disebutkan namanya angkat bicara. Ia mendesak agar aparat kepolisian—baik dari Polres Bangka Barat maupun Polda Bangka Belitung—tidak menutup mata dan segera mengambil tindakan tegas terhadap pemilik tambang.
“Pak Kapolres dan Pak Kapolda, tolong tindaklanjuti kasus lakatambang ini secara serius. Ini bukan kecelakaan biasa. Ini akibat aktivitas tambang ilegal yang jelas-jelas melanggar hukum dan merusak lingkungan,” ujarnya.
Tokoh masyarakat itu juga menegaskan bahwa kasus ini bukan kali pertama aktivitas tambang ilegal menimbulkan korban jiwa. Ia menuding Merro sebagai pelaku utama perusakan kawasan hutan lindung Sungai Kebiang.
“Merro sudah bertahun-tahun melakukan penambangan ilegal dengan menggunakan alat berat. Ini jelas kejahatan terhadap lingkungan dan manusia. Harus ada penindakan, jangan dibiarkan,” tegasnya.
Upaya wartawan untuk mengonfirmasi langsung kepada Merro mengalami kendala. Nomor telepon yang biasa digunakan kerap berganti-ganti, membuat komunikasi tidak memungkinkan hingga berita ini diturunkan.
Meski begitu, tekanan dari masyarakat tampaknya tidak sia-sia. Kapolres Bangka Barat akhirnya merespons dan menyatakan akan menindaklanjuti kasus tersebut.
“Terima kasih informasinya, nanti kami tindaklanjuti,” ujar Kapolres seperti dikutip dari media Inlicom.
Namun, warga menilai pernyataan tersebut belum cukup. Mereka menuntut proses hukum yang konkret dan transparan, bukan sekadar janji di atas kertas.
Apalagi, lokasi kejadian berada di dalam kawasan hutan lindung, yang seharusnya menjadi zona terlarang untuk segala bentuk aktivitas tambang.
“Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah. Ini sudah jatuh korban jiwa. Jangan tunggu lebih banyak nyawa melayang baru bertindak,” kata warga lainnya.
Tragedi di Dusun Penganak kembali membuka tabir buram tentang maraknya tambang ilegal di Bangka Barat. Aktivitas ilegal ini bukan hanya mengancam lingkungan hidup, tetapi juga nyawa para pekerja yang seringkali bekerja tanpa perlindungan dan kepastian hukum.
Kini, sorotan publik tertuju pada aparat penegak hukum. Apakah mereka benar-benar akan mengusut kasus ini hingga tuntas, atau justru membiarkan praktik tambang ilegal terus berlangsung dengan dalih lemahnya bukti?
Warga Parittiga menanti keadilan. Mereka tak ingin kasus ini berakhir seperti banyak kasus tambang ilegal lainnya—senyap tanpa kejelasan. Kematian Achmadi harus menjadi titik balik penegakan hukum tambang di Bangka Barat. Jika tidak, tragedi serupa tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi. (Dwi Prasetio/KBO Babel)