-->

Iklan

Menu Bawah

Iklan

Halaman

Mahalnya B1 KWK Harga Demokrasi di Pangkalpinang: Antara Cuan, Kursi, dan Kepalsuan Politik (Opini)

Redaksi
Selasa, 27 Mei 2025, Mei 27, 2025 WIB Last Updated 2025-05-27T13:16:41Z


Oleh : Adinda Putri Nabiilah, SH.,C.IJ.,C.PW


Pangkalpinang - Pilkada ulang Pangkalpinang 2025 semakin mendekati babak penentuan. Para bakal calon wali kota (cawako) dan wakil wali kota (cawawako) kini saling berpacu bukan hanya dalam adu gagasan atau jejak rekam, tapi juga dalam penggalangan "amunisi" untuk memperebutkan surat sakti: B1 KWK dari partai politik. Surat ini menjadi tiket resmi menuju panggung kontestasi elektoral. Namun sayangnya, proses untuk mendapatkannya bukan lagi semata-mata soal kualitas kepemimpinan, tapi kian terjerumus pada praktik transaksional.


Sinyal ini terlihat jelas. Beberapa bakal calon yang telah mendaftar melalui mekanisme resmi partai justru tereliminasi begitu saja, sementara nama-nama yang bahkan tak muncul dalam radar pendaftaran justru dikabarkan akan mengantongi surat rekomendasi. Fenomena ini menegaskan bahwa politik kita masih dikuasai oleh logika uang, bukan logika akal sehat dan demokrasi.


Partai politik, yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi, justru menjelma sebagai pedagang kursi kekuasaan. Nilai kursi parlemen pun dikabarkan melonjak drastis—dari kisaran Rp500 juta per kursi menjadi dua kali lipatnya. Jika partai mematok 4–5 kursi sebagai syarat minimal untuk mengusung calon kepala daerah, maka bakal calon harus menyediakan tidak kurang dari Rp4–5 miliar hanya untuk biaya awal rekomendasi. Belum termasuk ongkos tempur di masa kampanye yang bisa melambung hingga Rp15 miliar lebih.


Biaya politik yang tak masuk akal ini tidak hanya mencederai keadilan dalam berdemokrasi, tapi juga mempersempit ruang bagi calon-calon potensial yang lahir dari akar rumput namun tak punya kekuatan finansial.


Demokrasi yang seharusnya membuka ruang kompetisi bagi siapa pun yang berkualitas kini justru menjadi ladang oligarki politik yang hanya menguntungkan mereka yang punya modal besar. Maka wajar bila masyarakat mulai muak dan menggantungkan harapan pada kemenangan "kotak kosong" — simbol perlawanan terhadap sistem yang telah korup sejak hulu.


Namun harapan ini pun mulai direbut paksa. Paslon independen yang hadir dengan tagline “MERDEKA” sebenarnya menjadi harapan baru, namun di tengah realitas politik hari ini, mereka pun tak luput dari tekanan, cibiran, hingga skenario pembusukan karakter yang dilakukan oleh lawan-lawannya. Intrik, fitnah, dan manuver saling menjatuhkan menjadi pemandangan yang lazim, seolah-olah pemilu bukan lagi arena pertarungan gagasan, tapi ajang saling bunuh secara politis.


Lebih tragis lagi, publik dikecewakan oleh partai-partai politik yang semestinya menjadi pengayom aspirasi masyarakat. Ketika partai hanya membuka pendaftaran sebagai formalitas belaka, sementara rekomendasi diberikan pada mereka yang “bisa bayar”, maka proses demokrasi sudah kehilangan legitimasi moral.


Pilkada Pangkalpinang tahun ini menjadi cermin suram wajah demokrasi lokal. Tak ada ruang bagi idealisme, tak ada tempat bagi pemimpin bersih dan merakyat jika ia tak mampu “membeli” kursi pencalonan. Ironisnya, biaya politik yang mahal ini pada akhirnya akan dibebankan kembali ke masyarakat dalam bentuk praktik korupsi, manipulasi anggaran, dan pembangunan yang hanya menguntungkan elite, bukan rakyat.


Pertanyaan besar kini menggantung: bagaimana bisa kita melahirkan pemimpin yang jujur dan kompeten jika sejak awal saja prosesnya sudah tidak adil dan manipulatif?


Pilkada seharusnya menjadi ruang kontestasi sehat untuk memilih pemimpin terbaik, bukan yang terkaya. Reformasi partai politik adalah kebutuhan mendesak jika demokrasi lokal ingin diselamatkan. Proses rekrutmen politik harus transparan dan meritokratis. Regulasi soal biaya politik harus ditegakkan, termasuk pengawasan atas praktik jual-beli rekomendasi. Bawaslu dan KPK harus turun tangan lebih serius.


Pada akhirnya, suara rakyatlah yang akan menjadi penentu. Masyarakat Pangkalpinang harus melek politik dan tidak hanya terjebak pada popularitas atau pencitraan semu. Perlawanan terhadap sistem yang korup bisa dimulai dari pilihan yang tepat. Jika tidak, kita akan terus menyaksikan demokrasi menjadi panggung dagelan yang memalukan.


Demokrasi seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan komoditas yang diperdagangkan. Saatnya masyarakat Pangkalpinang menuntut politik yang lebih jujur dan beradab. (*)

Komentar

Tampilkan

Terkini

Entertainment

+

Opini

+