Pematangsiantar, Selektifnews.com – Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Pematangsiantar-Simalungun mengecam keras sekaligus mengutuk tindakan refresif aparat kepolisian yang mengakibatkan tewasnya seorang pengemudi ojek online (ojol) dalam aksi demonstrasi di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, pada Kamis (28/8/2025). Insiden ini menjadi sorotan publik karena memperlihatkan wajah represif aparat terhadap masyarakat yang tengah menyampaikan aspirasi secara terbuka di ruang demokrasi.
Kronologi yang beredar di lapangan menyebutkan, tragedi itu bermula ketika sebuah kendaraan taktis jenis Barracuda milik Polri melaju dan menabrak seorang driver ojek online. Benturan keras tersebut membuat korban tidak tertolong dan akhirnya meninggal dunia. Peristiwa tragis ini langsung menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk GMKI Siantar-Simalungun, yang menilai aparat telah melampaui batas kewenangan dan mengabaikan prinsip kemanusiaan.
Ketua GMKI Cabang Pematangsiantar-Simalungun, Yova Purba, dalam keterangannya menegaskan bahwa peristiwa ini bukan hanya pelanggaran etika profesi Polri, tetapi juga pelanggaran Hak Asasi Manusia serta hukum yang berlaku di Indonesia. “Polisi yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat justru melakukan tindakan refresif hingga merenggut nyawa rakyat. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi kita,” tegas Yova.
Yova juga mengutip Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara, terutama aparat penegak hukum. Selain itu, ia menyinggung Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menegaskan bahwa tugas pokok kepolisian adalah menjaga keamanan, menegakkan hukum, serta melindungi dan mengayomi masyarakat. “Nyawa rakyat bukan untuk dikorbankan dalam praktik represif aparat,” ujarnya dengan nada keras.
Lebih lanjut, Yova menyebut tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. “Perbuatan ini bisa dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain. Oleh karena itu, Kapolri harus menindak tegas seluruh jajaran yang terlibat dan menyampaikan permintaan maaf secara resmi kepada keluarga korban,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan GMKI Siantar-Simalungun, Depandes Nababan, juga menyampaikan pernyataan keras. Ia menyebut tindakan aparat bukan hanya melukai hati rakyat, tetapi juga menunjukkan matinya rasa kemanusiaan dalam tubuh Polri. “Polisi yang seharusnya menjadi pelindung malah menjadi pembunuh rakyat. Kendaraan yang dibeli dengan uang rakyat, dan aparat yang digaji dari uang rakyat, justru dipakai untuk membunuh rakyat. Ini ironi besar bagi negara demokrasi,” kata Depandes dengan penuh emosi.
Depandes menambahkan, permintaan maaf semata tidaklah cukup. Menurutnya, tindakan nyata berupa penegakan hukum terhadap pelaku harus dilakukan agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi. “Kapolri harus menunjukkan keseriusan dengan menindak tegas aparat yang bersalah. Jika tidak, maka citra Polri di mata masyarakat akan semakin runtuh. Rakyat butuh kepastian hukum, bukan sekadar janji,” tegasnya.
Dengan adanya sikap tegas dari GMKI Siantar-Simalungun, publik kembali diingatkan bahwa kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi adalah hak konstitusional yang harus dihormati. Tragedi tewasnya seorang ojol di tangan aparat menjadi peringatan keras bahwa praktik kekerasan atas nama keamanan tidak bisa dibenarkan. Mahasiswa menuntut agar Polri segera berbenah, menegakkan aturan yang berlaku, dan mengembalikan kepercayaan publik sebagai pelindung masyarakat, bukan sebaliknya.