Pangkalpinang, Selektifnews.com – Suasana di halaman Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Kepulauan Bangka Belitung tampak lebih ramai dari biasanya, Jumat (5/9/2025) siang. Belasan orang dari berbagai elemen masyarakat dan organisasi pers mendatangi kantor polisi tersebut dengan membawa setumpuk dokumen tebal.
Tujuan mereka jelas: menyampaikan laporan pengaduan kepada Kapolda Babel terkait dugaan kriminalisasi terhadap dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., seorang dokter spesialis anak yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kematian pasien anak bernama Aldo di RSUD Depati Hamzah, 1 Desember 2024 lalu.
Mereka yang hadir bukan sekadar individu, melainkan mewakili sejumlah organisasi. Di antaranya, Kurniadi Ramadani (Ketua Aliansi Masyarakat Cinta Bangka Belitung/AMC Babel), Indra Jaya (Ketua DPD Persatuan Wartawan Online Independen Nusantara/PWOIN Kota Pangkalpinang), dan Slamet Riyadi (Ketua Dewan Koordinasi Daerah Transformasi Indonesia).
Tiga tokoh ini tampil ke depan untuk menegaskan bahwa langkah mereka adalah upaya kolektif, bukan sekadar suara personal.
“Penetapan dr. Ratna sebagai tersangka jelas sarat kejanggalan. Ada indikasi tebang pilih dalam proses hukum. Kami menuntut azas persamaan di muka hukum ditegakkan. Jika dr. Ratna bisa ditetapkan sebagai tersangka, maka tujuh dokter lain yang ikut terlibat dalam penanganan pasien Aldo juga harus ikut diperiksa dan diproses hukum,” tegas Kurniadi Ramadani di hadapan sejumlah wartawan usai menyerahkan laporan.
Tudingan Kriminalisasi dan Tebang Pilih
Laporan yang disampaikan para pelapor tidak main-main. Dokumen setebal puluhan halaman itu menyebut secara rinci nama tujuh dokter lain yang diduga memiliki keterlibatan langsung dalam penanganan pasien Aldo. Mereka berasal dari fasilitas kesehatan berbeda, mulai dari klinik, rumah sakit swasta, hingga RSUD Depati Hamzah.
Nama-nama tersebut adalah: dr. Novi (dokter umum di dua fasilitas kesehatan berbeda), dr. Kuncoro Bayu Aji (Spesialis Jantung RSBT), dr. Muhammad Basri, dr. Aditya Fresno Dwi Wardhana, dr. Indria Savitri (dokter umum RSUD Depati Hamzah), serta dr. Della Rianadita (Direktur RSUD Depati Hamzah).
Menurut laporan, dugaan kelalaian dimulai dari tidak adanya surat rujukan berjenjang dari dokter umum ke dokter spesialis, yang kemudian dianggap menjadikan tindakan medis para spesialis tidak memiliki dasar legal formal.
Bahkan, Direktur RSUD Depati Hamzah, dr. Della Rianadita, turut disebut lalai karena diduga membiarkan kondisi kritis pasien tanpa tindakan cepat, meskipun ia secara personal memiliki hubungan langsung dengan dokter spesialis jantung yang seharusnya menangani pasien.
“Bagaimana mungkin hanya satu orang yang ditetapkan tersangka, sementara keterlibatan dokter-dokter lain dalam rangkaian perawatan pasien sudah terang benderang? Apakah ini adil?,” ujar Indra Jaya, Ketua PWOIN Pangkalpinang.
Landasan Hukum: UU Kesehatan 2023
Para pelapor mendasarkan tuntutannya pada Pasal 424 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa penyidik kepolisian berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.
Selain itu, mereka menuding para terlapor melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 440 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan, yaitu dugaan kelalaian atau kesengajaan dalam pelayanan medis yang berakibat fatal terhadap pasien.
Dengan dasar hukum ini, para pelapor menilai penyidik Polda Babel seharusnya tidak berhenti hanya pada dr. Ratna. Prinsip equality before the law (persamaan di hadapan hukum) harus menjadi pedoman. Bila ada tujuh nama lain yang disebut, maka penyidik berkewajiban untuk membuka ruang penyelidikan dan penyidikan secara transparan.
“Jangan sampai kasus ini menimbulkan stigma bahwa aparat hukum hanya mencari ‘kambing hitam’ dari sekian banyak pihak yang terlibat,” tambah Slamet Riyadi.
Bukti dan Saksi yang Diajukan
Untuk memperkuat laporan, para pelapor menyertakan sejumlah alat bukti, antara lain:
• Print out unggahan media sosial TikTok terkait kasus ini.
• Dokumentasi berita dari media cetak, online, dan televisi.
• Surat somasi yang pernah dilayangkan keluarga pasien.
• Surat permohonan hukum dari konsultan advokat.
• Surat edaran internal RSUD Depati Hamzah.
Selain itu, mereka juga mengajukan saksi-saksi kunci, mulai dari mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Babel, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pangkalpinang, hingga dua tokoh media dan masyarakat yang dianggap mengetahui duduk perkara.
Kehadiran saksi-saksi dari kalangan pejabat kesehatan hingga organisasi profesi menunjukkan bahwa kasus ini bukan persoalan sederhana. Ada taruhannya: integritas dunia medis, reputasi rumah sakit, hingga kredibilitas aparat penegak hukum.
Antara Hukum dan Keadilan Sosial
Publik Babel kini menunggu, apakah Polda akan merespons laporan ini dengan membuka kembali penyelidikan terhadap tujuh dokter terlapor, atau tetap melanjutkan perkara hanya dengan satu tersangka. Apapun pilihannya, konsekuensi sosialnya tidak kecil.
Jika penyidik hanya menyasar dr. Ratna, akan muncul kesan diskriminasi hukum dan kriminalisasi terhadap tenaga medis. Sebaliknya, jika penyidik membuka penyidikan terhadap tujuh dokter lainnya, akan timbul polemik baru di kalangan profesi kedokteran, termasuk potensi gesekan dengan organisasi IDI yang selama ini kerap membela anggotanya.
Di titik inilah, kasus kematian pasien Aldo bukan lagi sekadar persoalan medis, melainkan sudah menjelma menjadi isu hukum, sosial, bahkan politik.
Sorotan Publik dan Tanggung Jawab Institusi
Masyarakat luas menyoroti kasus ini dengan kacamata kritis. Kehilangan seorang anak jelas menyakitkan bagi keluarga, tetapi mencari keadilan dengan cara yang terkesan “memilih satu orang” sebagai tersangka juga menimbulkan pertanyaan etis.
Polda Babel berada dalam posisi sulit. Transparansi, kehati-hatian, dan konsistensi akan menentukan apakah publik masih menaruh kepercayaan pada aparat penegak hukum.
“Rasa keadilan harus ditegakkan, bukan hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi tenaga kesehatan yang selama ini bekerja di garis depan menyelamatkan nyawa manusia,” ujar Kurniadi.
Laporan ini sekaligus menjadi ujian bagi kepolisian: apakah mereka mampu membongkar kasus ini secara utuh, atau justru terjebak dalam narasi bahwa proses hukum hanya mencari jalan pintas dengan menetapkan satu tersangka tunggal.
Apakah Anda mau saya tambahkan juga analisis hukum lebih detail (misalnya membandingkan kasus serupa di Indonesia atau prinsip etik kedokteran vs hukum pidana) agar berita ini punya bobot analisis ekstra, atau cukup dibiarkan sebagai berita panjang investigatif? (Mung Harsanto/KBO Babel)