Opini Oleh : Rikky Fermana
Bangka Belitung - Pengunduran diri Tanwin sebagai Ketua DPW PKB Kepulauan Bangka Belitung membuka tabir kelam yang selama ini kerap disembunyikan dalam organisasi partai politik: menguatnya praktik oligarki politik yang menyingkirkan mekanisme demokratis. Pernyataan Tanwin yang mengaku mundur karena rasa jenuh setelah 15 tahun membangun partai, nyatanya menyimpan pesan politik yang jauh lebih dalam. Ia sesungguhnya sedang melayangkan protes keras terhadap proses pencalonan DR. Andi Kusuma sebagai bakal calon Bupati Bangka yang dinilai tidak melalui prosedur organisasi yang sah.
Dalam sistem kepartaian yang sehat, pengambilan keputusan haruslah berjenjang, transparan, dan menghormati hierarki kepengurusan. DPC membuka pendaftaran, DPW melakukan telaah dan pertimbangan, lalu DPP menerbitkan surat rekomendasi B1-KWK setelah melalui proses kolektif kolegial.
Namun, kasus PKB Babel menunjukkan sebaliknya. Proses formal diabaikan. Ketua wilayah tidak dilibatkan. Dan secara tiba-tiba, nama Andi Kusuma muncul sebagai calon bupati dengan surat B1-KWK di tangan. Sebuah proses yang janggal, tidak demokratis, dan potensial menyuburkan budaya "politik jalan pintas".
Kasus ini mengungkap satu gejala kronis: bahwa partai bisa saja menjadi alat segelintir elite untuk menjalankan agenda politik pribadi, bukan sebagai wadah representasi aspirasi publik. Tanwin, dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPW, jelas merasa dilangkahi secara struktural maupun moral. Ia seperti menjadi penonton di rumah yang selama ini ia bangun. Rasa "jenuh" yang ia utarakan bisa dibaca sebagai bentuk kelelahan terhadap sistem yang telah berubah arah: dari kolektif menjadi manipulatif.
Yang makin mencemaskan adalah sosok yang diusung: DR. Andi Kusuma. Ia bukan hanya pendatang baru di tubuh PKB, melainkan juga figur yang belakangan dikaitkan dengan dinamika hukum sensitif. Isu akan dipanggilnya Andi oleh Kejaksaan Agung terkait laporan balik terhadap Jaksa Agung dan Jampidsus dalam perkara korupsi timah seharusnya menjadi perhatian serius partai. Bagaimana mungkin seseorang yang belum teruji loyalitasnya terhadap partai, bahkan baru mendapatkan KTA pada 7 Mei 2025, langsung dipasang sebagai calon kepala daerah?
Langkah ini bukan saja sembrono, tetapi juga berisiko tinggi. Jika Andi terbukti bermasalah secara hukum, maka bukan hanya dirinya yang tercoreng, melainkan juga PKB sebagai institusi politik yang mendukungnya. Tanwin benar ketika menyatakan kekhawatirannya bahwa PKB bisa "didompleng" untuk menyelamatkan citra seseorang, bukan sebaliknya. Ini bukan semata soal elektabilitas calon, tapi soal kehormatan partai sebagai representasi publik.
Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi internal partai sedang berada di persimpangan. Ketika struktur dilangkahi dan mekanisme tak dihormati, maka lahirlah partai yang hanya sekadar alat politik elit, bukan milik rakyat. Jika PKB, yang selama ini dikenal berbasis ideologi keumatan dan keterbukaan, mulai terjebak dalam pola politik elitis dan pragmatisme kekuasaan, maka bisa dipastikan bahwa partai-partai lain pun tak luput dari risiko serupa.
Langkah Tanwin untuk mundur seharusnya tidak dibaca sekadar sebagai pengunduran pribadi. Ini adalah bentuk kritik institusional terhadap DPP PKB yang dinilai gagal menjaga marwah partai. Ia memberi pesan penting: bahwa loyalitas struktural tidak berarti membenarkan segala tindakan pimpinan pusat, apalagi jika keputusan tersebut mencederai etika dan prosedur.
Musyawarah Wilayah Luar Biasa (Muswil Lub) yang direncanakan pada 14 Mei nanti menjadi titik balik penting. Bukan hanya untuk memilih ketua baru, tetapi juga untuk memulihkan kembali prinsip-prinsip dasar partai: kolektivitas, transparansi, dan integritas. Siapa pun yang akan menggantikan Tanwin harus berani mengambil posisi tegas terhadap segala bentuk manipulasi struktur. Partai politik bukan ladang investasi individu, tapi rumah bersama yang harus dijaga marwah dan prosesnya.
Kasus ini juga menjadi cermin bagi publik dalam menyikapi Pilkada mendatang. Jangan hanya melihat siapa yang diusung partai, tapi lihat pula bagaimana proses pengusungan itu terjadi. Demokrasi bukan hanya soal hasil, tapi juga soal cara. Jika prosesnya rusak, maka hasilnya pun layak dipertanyakan. (*)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis : Rikky Fermana,S.IP.,C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW (Penanggungjawab KBO Babel, Ketua DPD Pro Jurnalismedia Siber/PJS Babel, Ketua DPW Babel IMO Indonesia dan Kontributor Berita Nasional)