-->

Iklan

Menu Bawah

Iklan

Halaman

Biang Perusak Alam, Komnas SEI Laporkan PT Bakara Energi Lestari (BEL) ke Kementerian Lingkungan Hidup

Redaksi
Kamis, 14 Agustus 2025, Agustus 14, 2025 WIB Last Updated 2025-08-14T04:39:33Z


Jakarta, Selektifnews.com – Komite Nasional Sentinel Energy Indonesia (KOMNAS SEI) resmi melaporkan PT Bakara Energi Lestari (BEL) ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) atas dugaan pelanggaran hukum lingkungan dan kerugian ekologis akibat operasional Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Aek Silang II di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Proyek yang mulai beroperasi komersial sejak 20 Februari 2020 ini, awalnya digadang-gadang sebagai sumber energi bersih, namun empat tahun berselang justru menjadi mimpi buruk bagi warga.


Sejak 2024 hingga 2025, debit air Sungai Aek Silang menyusut drastis. Air yang dulunya menghidupi ratusan hektare sawah warga kini tak lagi cukup mengairi padi. Irigasi lumpuh, pola tanam rusak, dan hasil panen merosot tajam. Dampaknya, mata pencaharian warga—yang sebagian besar bergantung pada sektor pertanian—jatuh terpuruk, memicu krisis ekonomi di desa-desa sekitar.


Padahal, sebelum krisis ini memuncak, Balai Wilayah Sungai Sumatera II (BWSII) telah mengeluarkan peringatan tegas melalui surat Nomor: SA.0203-Bws2/1842 tertanggal 24 September 2024. Isinya menegaskan bahwa perpanjangan Surat Izin Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan (SIPPA) hanya dapat diberikan jika PT BEL terlebih dahulu membangun lubang pintu pengambilan air dan saluran irigasi untuk memastikan distribusi air ke lahan pertanian rakyat. Rekomendasi tersebut sejatinya merupakan mandat penting untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan listrik dan kebutuhan hidup masyarakat.


Namun, pada Rapat Dengar Pendapat Komisi D DPRD Sumatera Utara, 22 Juli 2025, PT BEL justru menyalahkan “cuaca ekstrem” sebagai biang kekeringan. Klaim ini dimentahkan oleh hasil investigasi BWSII dan DPRD Sumut yang menegaskan bahwa sejak awal PT BEL sudah diingatkan agar tidak mengorbankan irigasi warga. Bahkan, pada rapat lanjutan 5 Agustus 2025, DPRD Sumut kembali menyoroti kelalaian perusahaan yang hingga kini belum memenuhi kewajiban infrastruktur irigasi.


Kordinator Harian KOMNAS SEI, Michael S, menegaskan bahwa pola kelalaian PT BEL terbaca jelas. Operasional PLTMH Aek Silang II diduga melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, serta ketentuan dalam UU Cipta Kerja. “Pelanggaran ini bukan hanya soal izin, tetapi sudah menyentuh jantung hak asasi manusia. Hak atas air, pangan, dan mata pencaharian yang dijamin konstitusi dan hukum internasional telah dilanggar. Irigasi hancur, panen gagal, dapur warga pun kosong,” tegasnya.


Lebih jauh, Michael menyampaikan bahwa bagi masyarakat Baktiraja, Sungai Aek Silang bukan hanya sumber air, tetapi juga sumber budaya dan spiritual. Tradisi, ritual adat, dan ikatan kultural yang ratusan tahun terjaga kini terganggu akibat perubahan aliran sungai. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang seharusnya menjadi dasar setiap proyek yang berdampak pada masyarakat adat pun diabaikan. Ia juga menyebut bahwa CSR yang belakangan dilakukan PT BEL hanyalah upaya “cuci tangan” atas dampak buruk yang telah ditimbulkan, mulai dari kekeringan hingga banjir.


Kordinator Umum KOMNAS SEI, Samuel T, menambahkan bahwa pihaknya tidak menolak energi terbarukan, namun menegaskan tidak ada pembenaran untuk merampas hak hidup warga demi kepentingan korporasi. “Air adalah urat nadi kehidupan. Jika dikuasai pihak yang mengabaikan kewajiban, negara wajib turun tangan. Ini bukan sekadar pelanggaran lingkungan, ini pelanggaran HAM serius,” ujarnya. Samuel juga mengkritik bahwa transisi energi di Indonesia bisa berubah menjadi bentuk “kolonialisme baru” jika proyek energi mengorbankan keberlanjutan sosial dan ekologi.


KOMNAS SEI mendesak KLH melakukan audit independen terhadap izin lingkungan dan SIPPA PT BEL, memastikan seluruh kewajiban infrastruktur irigasi terpenuhi, serta menindak tegas dugaan pelanggaran lingkungan dan HAM. Mereka menuntut agar PT BEL membiayai penuh proses pemulihan ekologis dan sosial di wilayah terdampak. “Bumi bukan sekadar sumber daya untuk diperas, melainkan rumah yang harus dijaga. Laporan ini adalah peringatan keras bahwa rakyat tidak boleh dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak,” tegas Samuel.

Komentar

Tampilkan

Terkini

Entertainment

+

Opini

+