-->

Iklan

Menu Bawah

Iklan

Halaman

Royalti Naik, Timah Menyusut: DPRD Soroti Penyimpangan dan Dugaan Perlindungan Pejabat

Redaksi
Jumat, 30 Mei 2025, Mei 30, 2025 WIB Last Updated 2025-05-30T09:47:54Z


Sungailiat, Selektifnews.com – Dugaan praktik penyelundupan pasir timah kembali mencuat ke permukaan. Sebanyak sembilan truk bermuatan timah ilegal dari Pulau Belitung dilaporkan masuk ke kawasan industri Jelitik, Sungailiat, Kabupaten Bangka pada Senin malam (26/5/2025). Tujuh di antaranya disebut-sebut milik seorang bos timah berinisial AH asal Bakik Jebus, Kabupaten Bangka Barat. Jumat (30/5/2025).


Truk-truk tersebut tiba terlebih dahulu di Pelabuhan Pelindo II Pangkalbalam menggunakan Kapal Salvia Jakarta, lalu bergerak menuju smelter PT Mitra Stania Prima (MSP) di kawasan Jelitik. 


Hingga saat ini, pihak PT MSP belum memberikan klarifikasi meski telah dihubungi berkali-kali. Begitu pula dengan AH, yang belum bisa dikonfirmasi perannya.


Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Muhtar Montong, dengan tegas menyatakan bahwa penyelundupan ini tidak akan terjadi jika Aparat Penegak Hukum (APH) bekerja dengan integritas. 



“Ini bukan barang kecil yang sulit dilacak. Ini timah—sumber daya negara. Jelas terdata, jelas jalurnya. Masalahnya, ada pembiaran,” ujarnya, Kamis (29/5/2025).


Muhtar menyebut, penyelundupan ini sangat merugikan negara dan daerah. Apalagi, saat ini besaran royalti timah telah dinaikkan, yang semestinya menjadi peluang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 


“Kalau barangnya tidak masuk ke PT Timah atau smelter resmi, lantas buat apa royalti dinaikkan? Ini sia-sia dan melukai keadilan fiskal daerah,” katanya.


Ketua Komisi III DPRD Babel, Taufik Rizani, turut menyesalkan lemahnya pengawasan. Ia menekankan perlunya pembangunan smelter resmi di Pulau Belitung agar pengiriman timah tidak terus ‘lari’ ke Pulau Bangka secara ilegal. 


“Kita semua paham barang itu larinya ke mana. Tapi kalau legalitasnya abu-abu dan aktivitasnya tidak diawasi, ya tetap rugi negara. Apalagi PT Timah pun mengalami pengurangan pasokan,” kata Taufik.



Pelanggaran Undang-Undang

Dugaan penyelundupan timah ini berpotensi melanggar sejumlah regulasi penting di Indonesia. Secara khusus:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), sebagaimana diubah dalam UU Nomor 3 Tahun 2020, menegaskan bahwa setiap kegiatan pengangkutan dan penjualan mineral harus berdasarkan izin yang sah. Dalam hal ini, truk pengangkut timah tanpa dokumen RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) dan tanpa izin angkut melanggar Pasal 161 yang berbunyi:

"Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, atau izin lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah)."

2. UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, Pasal 102 mengatur bahwa siapa pun yang melakukan ekspor atau impor barang tanpa izin atau tidak sesuai dengan ketentuan kepabeanan, termasuk lintas antar-pulau tanpa dokumen resmi, dapat dikenakan pidana dan sanksi administratif.

3. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena dampak dari tambang ilegal dan penyelundupan timah tidak hanya soal ekonomi, tapi juga perusakan lingkungan yang tak bisa dipantau oleh otoritas. Hal ini bisa mengarah pada pelanggaran pidana lingkungan.



Bayang-Bayang Jejaring Politik

Yang semakin memperkeruh situasi adalah dugaan bahwa PT MSP, perusahaan yang menerima truk-truk bermuatan timah ilegal itu, berada dalam jejaring bisnis yang dikaitkan dengan lingkar kekuasaan nasional. Perusahaan tersebut kini berada di bawah manajemen Herwendo Adytio Dewanto, yang disebut-sebut masih memiliki hubungan dengan Hasyim Djojohadikusomo dan Presiden Prabowo.


Masyarakat pun skeptis akan efektivitas instruksi Presiden kepada Gubernur Hidayat Arsani untuk memutus rantai penyelundupan. 


“Mana mungkin gubernur berani bongkar RKAB PT MSP dan IUP yang berkatifitas di Pulau Belitung? Kalau punya perusahaan itu keluarga presiden, siapa yang mau sentuh?” cetus AD, warga Belitung.


Sementara Polda Babel melalui Kapolda Irjen Pol Hendro Pandowo dan Dirreskrimsus Kombes Pol Jojo Sutarjo belum memberikan komentar resmi, publik menanti: apakah hukum masih berlaku sama untuk semua, atau hanya untuk rakyat kecil.


Kasus ini membuka tabir kompleksitas antara kekuasaan, bisnis tambang, dan lemahnya penegakan hukum. Di satu sisi, negara ingin meningkatkan penerimaan negara melalui royalti dan tata kelola tambang yang transparan. 


Di sisi lain, praktik-praktik penyelundupan yang melibatkan jalur resmi dan pelabuhan besar tetap terjadi, menunjukkan celah besar dalam pengawasan dan integritas lembaga.


Jika negara serius ingin menghentikan penyelundupan timah, maka tidak cukup dengan instruksi dan pidato. Dibutuhkan tindakan konkret: audit RKAB, evaluasi izin IUP, penindakan terhadap smelter yang menerima timah ilegal, serta transparansi total terhadap siapa saja yang bermain di balik layar bisnis tambang ini. Sebab jika tidak, rakyat hanya akan melihat: hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. (KBO Babel)

Komentar

Tampilkan

Terkini

Entertainment

+

Opini

+