-->

Iklan

Menu Bawah

Iklan

Halaman

Bukan Penegakan Hukum, Tapi Dugaan Persekongkolan: Penahanan Ilegal Irfan Batubara Jadi Sorotan Dipolsek Medang Tembung

Redaksi
Kamis, 21 Agustus 2025, Agustus 21, 2025 WIB Last Updated 2025-08-21T09:11:25Z


Medan, Selektifnews.com – Dunia penegakan hukum kembali tercoreng. Kasus dugaan penggelapan sepeda motor yang menyeret seorang pria bernama Irfan Batubara di Medan Tembung bukan sekadar persoalan pidana biasa, melainkan gambaran nyata betapa rapuhnya profesionalisme aparat dalam menegakkan hukum.


Bagaimana tidak, Irfan bukan hanya dikeroyok empat warga sipil sebelum dipaksa ke Polsek Medan Tembung, tetapi juga langsung ditahan penyidik meski laporan polisi baru dibuat setelah ia dibawa ke kantor polisi. Ironi hukum pun terpampang jelas: korban justru diperlakukan seperti kriminal tanpa proses hukum yang sah.


Dalam keterangannya kepada awak media pada Kamis, 22 Agustus 2025, istri korban, Boru Lubis, mengungkapkan kronologi yang mengejutkan.


“Mereka empat orang, yang satu wanita, datang ke rumah saya mengeroyok suami saya lalu membawa paksa ke Polsek Medan Tembung. Suami saya dituduh menggelapkan sepeda motor. Anehnya, laporan baru dibuat setelah sampai di Polsek, tapi suami saya langsung ditahan penyidik,” ujarnya.


Boru Lubis pun menegaskan telah membuat laporan balik ke Polrestabes Medan atas dugaan pengeroyokan.


“Suami saya juga sudah divisum. Saya berharap polisi segera menangkap para pelaku dan memberi keadilan,” tegasnya.


Namun alih-alih mendapat penjelasan objektif dari aparat, sikap penyidik justru semakin memperburuk keadaan. Saat dikonfirmasi wartawan, penyidik Henry Siahan merespons dengan nada tinggi:


“Kalau soal pasal berapa itu bukan wewenang saya, silakan tanya Kanit. Kalian enak ada tidur, aku dua hari nggak tidur. Ini habis piket, sekarang kulawani semua, nggak peduli aku dipindah-pindah.”


Jawaban arogan ini menambah citra kelam kepolisian: bukan hanya lemah dalam prosedur, tetapi juga kehilangan empati dan profesionalisme.


Potret Pelanggaran Hukum

Padahal, KUHAP sudah jelas mengatur bahwa penangkapan dan penahanan hanya sah jika memenuhi syarat: ada laporan polisi, bukti permulaan yang cukup, serta surat perintah resmi. Fakta di lapangan menunjukkan pelanggaran serius:


1. Laporan baru dibuat setelah korban dipaksa hadir di Polsek – artinya dasar hukum penahanan sangat rapuh.

2. Irfan langsung ditahan tanpa surat resmi, keluarganya pun tidak menerima pemberitahuan sebagaimana diatur Pasal 21 KUHAP.

3. Empat warga sipil pelaku pengeroyokan dan penculikan tidak tersentuh hukum, padahal jelas tindakan mereka masuk kategori tindak pidana.


Ini bukan sekadar kelalaian prosedural, melainkan pembiaran terang-terangan terhadap praktik main hakim sendiri.


Jika terbukti melanggar SOP, penyidik berpotensi menghadapi konsekuensi serius:


Praperadilan – keluarga korban dapat menggugat keabsahan penahanan yang tidak sah.


Sanksi etik dan disiplin – Propam Polri dapat menjatuhkan sanksi atas pelanggaran profesionalisme.


Pidana penyalahgunaan wewenang – jika terbukti ada kesengajaan, penyidik dapat dijerat Pasal 421 KUHP.


Kasus Irfan Batubara adalah cermin buram penegakan hukum. Aparat yang seharusnya melindungi justru membiarkan warga sipil bertindak sebagai “hakim jalanan”. Lebih parah, bukannya meluruskan, penyidik malah memperkuat kesewenang-wenangan itu dengan penahanan tergesa-gesa.


Jika praktik ini dibiarkan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada polisi. Penegakan hukum berubah menjadi alat intimidasi, bukan keadilan.


Awak media mendesak Kapolrestabes Medan dan Propam Polda Sumut untuk segera turun tangan. Pembiaran terhadap praktik penahanan ilegal bukan hanya melukai rasa keadilan, tetapi juga mempermalukan institusi kepolisian di mata publik.


Hukum seharusnya menjadi benteng terakhir warga, bukan jebakan yang dipakai untuk menakut-nakuti. Kasus Medan Tembung ini adalah alarm keras: reformasi penegakan hukum bukan lagi kebutuhan, melainkan keharusan.

Komentar

Tampilkan

Terkini

Entertainment

+

Opini

+