OKI, SELEKTIFNEWS.COM – Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, dikenal sebagai salah satu daerah dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Potensi tersebut menarik banyak perusahaan besar, termasuk dari luar daerah dan bahkan dari luar negeri, untuk berinvestasi di wilayah ini. Namun, di balik geliat investasi tersebut, muncul persoalan serius berupa dugaan penyerobotan lahan rakyat dan pengingkaran terhadap kewajiban plasma oleh sejumlah perusahaan perkebunan dan industri besar.
Salah satu contoh yang mencuat adalah keberadaan PT Rambang Jaya Argo, perusahaan yang disebut-sebut telah beberapa kali berganti kepemilikan akibat sengketa lahan. Lokasi perusahaan ini pun dinilai tidak jelas karena berada di antara beberapa desa seperti Teloko, Tanjung Serang, Pedamaran Lubuk Dalam, dan Kedaton. Meski demikian, sejumlah warga desa yang masuk dalam wilayah operasional perusahaan tersebut mengaku belum pernah menerima hak mereka berupa plasma, padahal peraturan pemerintah mewajibkan perusahaan memberikan 30 persen lahan plasma dan memprioritaskan tenaga kerja lokal hingga 60 persen.
Menurut M. Salim Kosim, S.SIP, dari Pusat Riset Kebijakan Publik (PRISMA), banyak perusahaan di OKI telah melanggar aturan dan harus segera diaudit. “Mereka sudah melangkah terlalu jauh. Banyak yang hanya memiliki hak guna pakai, bukan hak milik. Pemerintah harus menelusuri asal-usul HGU mereka dan memastikan legalitasnya. Selain itu, data penerima plasma harus transparan agar tidak menimbulkan kecurigaan publik,” tegasnya.
Salim juga menyoroti maraknya konflik lahan di beberapa wilayah transmigrasi seperti C3, G2, dan Sodong, yang melibatkan perusahaan besar seperti PT Wai Musi, Wilmar Group, BCP, GTA, serta perusahaan Hikmah. Kasus-kasus ini bahkan disebut sudah bertahun-tahun tidak kunjung tuntas dan menimbulkan keresahan warga yang merasa lahannya diambil alih secara sepihak. “Kita tidak anti investasi, tapi jangan sampai rakyat jadi korban dan hak mereka dirampas,” ujarnya.
Ketua Forum Wartawan OKI Bersatu (Forwaki), M. Dihin M. Nur, juga mendesak Bupati OKI agar memanggil seluruh pimpinan perusahaan di wilayahnya untuk dimintai keterangan terkait dugaan penyerobotan lahan. Ia juga meminta perhatian dari Presiden Prabowo Subianto serta Menteri ATR/BPN untuk turun langsung menyelesaikan konflik agraria di OKI. “Ini persoalan serius. Rakyat tidak boleh terus-menerus jadi korban kerakusan korporasi,” ujarnya menegaskan.
Sementara itu, Suhur, warga Desa Kedaton, menuntut agar PT PSM — yang sebelumnya bernama PT Rambang Argo Jaya — segera menyelesaikan sengketa yang sudah berlarut-larut. Ia menyebut banyak masyarakat belum mendapatkan hak plasma, padahal sudah puluhan tahun perusahaan beroperasi di lahan mereka. “Tidak hanya satu, hampir semua perusahaan di OKI bermasalah. Mereka itu perampok tanah rakyat!” ujarnya geram. Ia menegaskan bahwa ahli waris seperti Salim Kosim, anak dari Abu Kosim, masih memiliki dokumen sah atas lahan yang kini dikuasai perusahaan.
Dalam pernyataannya, Suhur juga mengungkap bahwa proses hukum terkait lahan tersebut bahkan sudah sampai ke Mahkamah Agung, namun hingga kini belum ada keputusan yang menyatakan pihaknya kalah. “Kami masih punya hak hukum. Tapi lahan itu kini dikuasai begitu saja. Pemerintah di mana? Apakah mereka semua tunduk pada kepentingan asing?” ucapnya dengan nada emosi.
Kondisi serupa juga dialami warga Tebing Suluh, yang diwakili oleh seseorang berinisial AS. Ia mempertanyakan legalitas operasi PT Wilmar Group, yang diketahui masa berlaku HGU-nya telah habis sejak 2020, tetapi hingga kini masih beroperasi tanpa memberikan plasma kepada masyarakat setempat. “Apakah semua ini dibiarkan karena ada kerja sama dengan pemerintah setempat?” ujarnya penuh tanda tanya. Lebih ironis lagi, pajak perusahaan besar tersebut dikabarkan tidak dibayarkan di Indonesia melainkan di Singapura, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa keuntungan besar dari tanah rakyat justru tidak memberi manfaat bagi negara.
Dengan maraknya dugaan pelanggaran tersebut, masyarakat OKI kini mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah tegas. Audit terhadap seluruh perusahaan asing dan nasional di OKI dianggap menjadi jalan awal untuk menegakkan keadilan agraria dan melindungi hak rakyat yang selama ini terpinggirkan di tanahnya sendiri.





 
 
 
 
 







