JAKARTA, SELEKTIFNEWS.COM — Seorang dokter anak asal Bangka Belitung, dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., M.Kes., melawan. Ia menggugat Pasal 307 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa diperlakukan tidak adil oleh Majelis Disiplin Profesi Konsil Kesehatan Indonesia (MDP KKI). Sabtu (18/10/2025).
Melalui kuasa hukumnya, Hangga Oktafandany, S.H., Ratna mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) terhadap Pasal 307 sepanjang frasa “Putusan dari majelis” yang menurutnya diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjamin kesetaraan warga negara di hadapan hukum serta hak atas kepastian hukum yang adil.
Permohonan itu teregister dengan Nomor Perkara 175/PUU-XXIII/2025, dan disidangkan untuk pertama kalinya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang MK Jakarta, Jumat (10/10/2025).
Rekomendasi yang Tak Bisa Dikoreksi
Masalah bermula ketika MDP KKI mengeluarkan rekomendasi yang menyebut dr. Ratna telah melanggar standar profesi dan merekomendasikan agar kasusnya diteruskan ke penyidikan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kepulauan Bangka Belitung.
Namun, menurut Ratna, rekomendasi itu tidak disertai Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tidak ada sidang pelanggaran profesi, tidak ada putusan resmi majelis, dan bahkan tidak diberikan salinan rekomendasi kepada dirinya.
Yang lebih parah, rekomendasi tersebut langsung dijadikan dasar oleh penyidik untuk menetapkan dirinya sebagai tersangka.
“Rekomendasi dari majelis tidak terdapat ruang untuk diuji kebenarannya melalui peninjauan kembali atau upaya hukum lainnya,” jelas kuasa hukum Ratna, Hangga Oktafandany di hadapan majelis hakim konstitusi.
Padahal, menurutnya, Pasal 307 UU Kesehatan secara eksplisit hanya membuka ruang peninjauan kembali terhadap ‘putusan dari majelis’, bukan terhadap ‘rekomendasi dari majelis’.
Artinya, jika seseorang mendapatkan rekomendasi yang berakibat hukum serius seperti penetapan tersangka, ia tidak memiliki mekanisme hukum untuk membela diri atau mengoreksi keputusan tersebut.
Pasal yang Dipersoalkan
Adapun Pasal 307 UU Kesehatan berbunyi:
“Putusan dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri dalam hal: a) ditemukan bukti baru; b) kesalahan penerapan pelanggaran disiplin; atau c) terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan yang diperiksa.”
Menurut pemohon, frasa “putusan dari majelis” bersifat objek tunggal yang menutup peluang hukum bagi subjek lain yang menerima “rekomendasi dari majelis”.
Padahal, rekomendasi tersebut juga mengandung akibat hukum langsung — seperti halnya putusan — yang bisa memengaruhi status profesional, reputasi, dan kebebasan seseorang.
“Pengecualian ini membatasi hak konstitusional Pemohon untuk menguji kebenaran rekomendasi majelis,” jelas Hangga.
Untuk itu, Ratna meminta Mahkamah agar menambahkan frasa “dan/atau rekomendasi dari majelis” pada Pasal 307, sehingga berbunyi:
“Putusan dari majelis dan/atau rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri...”
Ketimpangan dan Dugaan Diskriminasi
Dalam sidang, Ratna juga mempertanyakan alasan MDP KKI hanya merekomendasikan dirinya seorang untuk diteruskan ke penyidikan, sementara tujuh dokter lain yang diperiksa dalam kasus yang sama tidak mendapatkan rekomendasi serupa.
“Ini bentuk diskriminasi yang nyata. Apa yang membedakan saya dari rekan-rekan sejawat yang lain, sementara standar profesi yang disebut dilanggar pun belum disusun oleh MDP KKI dan belum ditetapkan oleh Menteri?” ungkapnya dalam permohonan tertulis.
Ratna merasa diperlakukan tidak adil dan menjadi korban kriminalisasi atas dasar rekomendasi yang tidak transparan dan tidak dapat diuji.
Ia mengaku dua status hukum yang disematkan kepadanya — melanggar standar profesi dan diteruskan ke penyidikan — telah menghancurkan reputasi dan ketenangan hidupnya.
“Bagi saya, berapa kali pun wajib lapor dilaksanakan, kriminalisasi ini tetap merampas kemerdekaan saya,” ujarnya lirih.
Dampak Sosial dan Profesional
Akibat rekomendasi tersebut, kehidupan pribadi dan profesional dr. Ratna terguncang. Ia diwajibkan lapor ke penyidik dua kali seminggu, yang kini dikurangi menjadi sekali.
Namun, ia menilai kebijakan itu tetap menjadi bentuk pembatasan kebebasan yang tak berdasar.
“Dampaknya bukan hanya pada saya. Keluarga saya pun ikut menanggung malu karena pemberitaan media dan stigma sosial yang muncul. Saya merasa tidak lagi memiliki ruang untuk membela diri,” ungkapnya.
Selain reputasi, karier akademiknya juga terancam. Ia berniat melanjutkan pendidikan subspesialis, namun dengan status hukum yang melekat, peluang itu nyaris tertutup.
Tanggapan Hakim MK: Argumentasi Harus Diperkuat
Dalam sidang pendahuluan, Majelis Panel Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Arief Hidayat, dengan didampingi oleh Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih, menilai permohonan Ratna masih perlu diperkuat, khususnya dalam menjelaskan hubungan logis antara norma yang diuji dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji.
Hakim Enny Nurbaningsih menegaskan, argumentasi konstitusional harus dijelaskan secara konkret.
“Kalau saya baca, pertentangannya dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), tapi tidak jelas pertentangannya seperti apa. Itu harus diuraikan semua. Dibangun argumentasi yang kuat supaya sampai ke petitum,” tegasnya.
Sementara itu, Hakim Arief Hidayat memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan.
“Perbaikan paling lambat diterima Mahkamah pada Kamis, 23 Oktober 2025, pukul 12.00 WIB,” ujar Arief sebelum menutup sidang.
Menguji Keadilan dalam Profesi Kesehatan
Kasus ini bukan sekadar sengketa antara dokter dan majelis profesi. Gugatan Ratna membuka kembali perdebatan tentang transparansi dan akuntabilitas lembaga etik di bidang kesehatan — apakah rekomendasi mereka cukup kuat untuk menjadi dasar tindakan hukum tanpa melalui mekanisme koreksi yang adil?
Bagi dr. Ratna, perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya. Ia menegaskan bahwa langkahnya ke Mahkamah Konstitusi adalah ikhtiar menegakkan keadilan bagi profesi kedokteran, agar tidak ada lagi dokter yang menjadi korban “rekomendasi” yang tidak bisa dikoreksi.
“Setiap warga negara, termasuk dokter, berhak atas perlakuan yang adil di depan hukum. Jika rekomendasi bisa menghancurkan karier seseorang, maka seharusnya rekomendasi itu juga bisa diuji kebenarannya,” tegasnya.
Kini, bola ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Putusan atas perkara ini bukan hanya akan menentukan nasib seorang dokter, tetapi juga menjadi preseden penting bagi dunia kesehatan di Indonesia — apakah rekomendasi lembaga profesi bisa berdiri tanpa mekanisme koreksi, atau harus tunduk pada prinsip keadilan konstitusional. (Faras Prakasa/KBO Babel)