Simalungun, Selektifnews.com — Dugaan praktik prostitusi berkedok layanan spa dan pijat refleksi di Komplek Perumahan Griya Siantar, Jalan Asahan Km 3 Nagori Siantar Estate, kembali mencuat tajam dan memantik kemarahan publik. Temuan lapangan yang dihimpun dari berbagai sumber memunculkan kecurigaan kuat bahwa sejumlah tempat usaha di kawasan tersebut tidak hanya diduga beroperasi tanpa izin lengkap, tetapi juga menawarkan layanan yang tidak lazim untuk kategori spa pada umumnya.
Indikasi itu terlihat dari pola tarif, jenis layanan, hingga aktivitas yang terekam oleh masyarakat sekitar. Sejumlah warga mengaku resah dengan maraknya keluar-masuk pengunjung pada malam hari, yang dinilai tidak mencerminkan operasional normal sebuah tempat pijat profesional. Selain itu, adanya tenaga terapis yang tampak mengenakan pakaian sangat minim semakin menambah kecurigaan bahwa aktivitas di dalam ruangan tidak sebatas layanan pijat.
Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Simalungun, Hendri Surya Saputra, menyatakan bahwa pihaknya menerima banyak laporan dari masyarakat terkait aktivitas yang diduga sebagai praktik prostitusi terselubung. Ia menyebut sedikitnya tujuh bangunan di dalam komplek tersebut yang beroperasi sebagai spa atau panti pijat dan hampir semuanya mempekerjakan tenaga terapis perempuan. Hendri juga menyoroti dugaan keberadaan pekerja di bawah umur, yang apabila terbukti, merupakan pelanggaran berat dan masuk ranah pidana.
“Ini bukan sekadar isu moral, tetapi potensi pelanggaran hukum yang serius. Jika tempat-tempat ini terbukti beroperasi tanpa izin lengkap dan memfasilitasi praktik prostitusi, maka Bupati, Camat, dan Pangulu harus bertanggung jawab karena telah membiarkan atau lalai mengawasi. Jika tidak mampu menindak, mundur saja dari jabatan,” tegas Hendri, Senin (01/12/2025). Menurutnya, keluhan masyarakat adalah sinyal kuat bahwa persoalan ini tidak bisa lagi diabaikan.
Secara hukum, aktivitas yang memfasilitasi praktik prostitusi dapat dijerat dengan Pasal 296 KUHP mengenai pihak yang mencari keuntungan dari perbuatan cabul, serta Pasal 506 KUHP yang menjerat pihak yang menyediakan fasilitas atau tempat bagi prostitusi. Apabila nanti ditemukan bukti transaksi seksual di balik layanan spa, maka pengelola usaha dapat dikenai ancaman pidana berupa hukuman penjara dan denda sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Dari sisi administrasi, usaha spa wajib memiliki izin seperti NIB, TDUP, serta sertifikasi standar usaha spa sesuai regulasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Bila dokumen tersebut tidak terpenuhi atau tidak sesuai, pemerintah daerah melalui DPMPTSP bersama Satpol PP dapat melakukan penindakan berupa teguran, pencabutan izin, hingga penutupan permanen terhadap usaha yang melanggar.
Selain itu, Permenkes No. 14/2021 tentang penyelenggaraan perizinan berusaha sektor kesehatan mengatur bahwa layanan body treatment dan pijat wajib memenuhi standar kebersihan, kesehatan pekerja, serta kondisi fasilitas. Jika ditemukan pelanggaran yang membahayakan kesehatan masyarakat, maka Dinas Kesehatan dapat memberikan rekomendasi penutupan hingga pencabutan hak operasional.
Hendri menegaskan bahwa GPII Simalungun akan menyiapkan laporan resmi dan mendorong pemerintah Kabupaten Simalungun, Satpol PP, Dinas Kesehatan, hingga aparat kepolisian untuk melakukan penertiban menyeluruh. “Kami tidak akan membiarkan tempat-tempat berkedok spa menjadi sarang praktik ilegal. Jika pemerintah tidak bertindak, masyarakat sendiri bisa turun menutup tempat tersebut. GPII siap berada di baris terdepan,” tutupnya.











