Pematangsiantar, Selektifnews.com —
Dugaan mark up harga seragam olahraga dan atribut sekolah di SMA Negeri 1 Pematangsiantar kini menjadi sorotan tajam masyarakat dan orang tua siswa. Berdasarkan laporan yang diterima Selektif News, harga baju olahraga dijual sebesar Rp160.000 per set, sementara atribut sekolah yang meliputi bendera kecil, nama siswa, nama lokasi sekolah, dasi, dan topi dijual dengan harga Rp100.000 per paket.
Padahal, hasil penelusuran redaksi pada marketplace daring seperti Shopee, menunjukkan bahwa seragam olahraga sejenis berbahan premium dijual hanya di kisaran Rp85.000–Rp95.000 per set. Selisih harga yang hampir dua kali lipat itu menimbulkan dugaan kuat adanya mark up harga yang dinilai tidak transparan dan berpotensi merugikan orang tua siswa.
Salah satu orang tua siswa mengungkapkan kekecewaannya atas kebijakan tersebut.
> “Harga baju olahraga Rp160 ribu dan atribut Rp100 ribu itu tidak masuk akal. Di online shop banyak yang sama bahannya di bawah Rp90 ribu. Kami merasa seperti dipaksa beli di sekolah, tanpa ada penjelasan kenapa harganya mahal,” ujar orang tua siswa itu kepada Selektif News, Minggu (12/10/2025).
Menurutnya, sekolah tidak memberikan pilihan untuk membeli di luar. Semua siswa diarahkan membeli seragam dan atribut langsung di sekolah tanpa diberi opsi lain. “Waktu daftar cuma dikasih tahu ambil dari sekolah, tidak ada keterangan boleh beli di luar. Padahal setahu kami sekolah negeri tidak boleh jual seragam,” tambahnya.
Secara hukum, praktik seperti ini berpotensi melanggar Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa sekolah tidak boleh mewajibkan peserta didik membeli pakaian seragam dari sekolah atau pihak tertentu. Orang tua dan siswa diberi kebebasan membeli di mana saja, asalkan sesuai dengan model dan warna seragam yang ditetapkan sekolah.
Selain itu, Pasal 181 huruf c Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menegaskan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan dilarang menjual seragam, buku, atau perlengkapan sekolah di satuan pendidikan. Bila terdapat transaksi penjualan yang mengandung unsur keuntungan pribadi atau kelompok, hal itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi dan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.
Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara, Herdensi Adnin, S.Sos., menegaskan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti laporan tersebut. Kepada redaksi Selektif News, Minggu (12/10/2025), ia mengatakan:
> “Setiap bentuk iuran atau penjualan perlengkapan sekolah harus bersifat sukarela, tidak boleh memaksa, dan tidak menjadi syarat layanan pendidikan. Kalau pembelian seragam atau atribut dilakukan wajib dan harganya tidak wajar, itu pelanggaran. Kami akan memanggil kepala cabang dinas dan kepala sekolah yang terindikasi melakukan praktik seperti ini,” tegas Herdensi.
Lebih lanjut, Herdensi menjelaskan bahwa komite sekolah memang diperbolehkan menggalang dana untuk membantu kegiatan pendidikan, namun hal itu harus berdasarkan musyawarah, disepakati bersama, transparan, dan menyesuaikan kemampuan orang tua siswa. “Kalau ada unsur paksaan atau keuntungan pribadi, itu sudah keluar dari koridor hukum pendidikan,” katanya.
Sementara itu, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VI Pematangsiantar–Simalungun, August Sinaga, S.Pd., M.A.P., saat dikonfirmasi via pesan WhatsApp menyatakan akan memanggil pihak sekolah terkait pemberitaan ini.
> “Terima kasih atas informasinya. Untuk memenuhi pemberitaan yang berimbang dan sesuai peraturan, saya akan memanggil kepala sekolah dan jajarannya. Semua harus berdasarkan data, fakta, dan ketentuan yang berlaku,” ujar August.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak SMA Negeri 1 Pematangsiantar belum memberikan tanggapan resmi terkait dugaan mark up harga seragam olahraga dan atribut tersebut. Masyarakat berharap Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara bersama Ombudsman RI segera melakukan pemeriksaan menyeluruh agar tidak ada lagi praktik yang memberatkan orang tua dan mencederai prinsip pendidikan yang transparan, bersih, dan bebas pungutan liar.