Lubuk Besar, Selektifnews.com – Kegiatan penambangan timah ilegal yang menggunakan alat berat kembali mencederai kawasan hutan lindung di Dusun Nadi, Kecamatan Lubuk Besar. Setelah sempat ditertibkan oleh tim gabungan KPH Sungai Simbulan pada 17 Juni 2025, aktivitas perusakan hutan itu kini berlangsung kembali secara terang-terangan. Minggu (22/6/2025).
Tidak tanggung-tanggung, tiga unit alat berat—dua ekskavator dan satu buldozer—dikerahkan untuk mengeruk sumber daya alam secara ilegal.
Yang memperparah situasi, muncul pengakuan mengejutkan dari seorang oknum anggota TNI aktif berpangkat Kopral bernama Viktor Sinaga, yang menyebutkan bahwa tambang tersebut merupakan miliknya sendiri.
Pernyataan ini memicu kegaduhan publik, mengingat posisi Viktor sebagai anggota kesatuan Korem 045 Garuda Jaya (Gaya)—institusi militer yang secara resmi terikat dengan Nota Kesepahaman (MoU) antara Panglima TNI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam mendukung pelestarian lingkungan.
“Tidak ada kaitannya dengan Igus, itu tambang kami sendiri,” sebut Viktor, seperti dikutip dari pernyataan yang telah viral di media online.
Dua UU Dilanggar Sekaligus: Sanksinya Nyata, tapi Tak Dilaksanakan
Kegiatan tambang di kawasan hutan lindung Dusun Nadi jelas melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang diperkuat melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 17 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa:
"Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin."
Ancaman pidana atas pelanggaran ini sangat tegas: penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp10 miliar (Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 94).
Tak hanya itu, pelanggaran juga terjadi terhadap Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Pasal 158 menyatakan bahwa:
"Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar."
Jika dua UU ini diterapkan secara utuh, maka aktor tambang ilegal, termasuk pemodal, operator alat berat, dan pihak pembeking—termasuk Viktor Sinaga—seharusnya sudah berada dalam proses hukum pidana. Namun kenyataannya, aktivitas justru berlangsung seolah kebal hukum.
Spanduk Larangan: Simbol Tanpa Taji
Penertiban oleh KPH Sungai Simbulan pada 17 Juni 2025 lalu hanya menyisakan spanduk larangan. Sayangnya, tanpa pengawasan dan penegakan lanjutan, spanduk itu kini hanya menjadi dekorasi kosong di tengah kesibukan tambang ilegal yang terus beroperasi.
Tidak ada pengamanan tapal batas hutan, tidak ada patroli, apalagi pengusutan pidana terhadap pelaku utama.
Masyarakat Dusun Nadi yang hidup berdampingan dengan hutan kini merasa dikhianati. Hutan yang menjadi sumber air, udara bersih, dan keanekaragaman hayati rusak demi keuntungan sesaat dari tambang ilegal.
Mereka khawatir bahwa pembiaran seperti ini akan menjadi preseden buruk dan menghancurkan harapan atas kelestarian lingkungan.
Peran Ganda Kopral Naga: Dari Hutan Lindung Hingga Kolong Zero Tambang
Lebih lanjut, nama Kopral Naga alias Viktor Sinaga disebut bukan hanya sebagai pemilik tambang di Dusun Nadi.
Ia juga diduga menjadi koordinator tambang apung jenis rajuk tower yang beroperasi di Kolong Koboy, Kota Pangkalpinang—area yang telah dinyatakan sebagai zona zero tambang oleh pemerintah.
“Naga itu ada juga mengkoordinir tambang di Kolong Koboy Bang,” ungkap sumber media ini, yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Aktivitas tambang di Kolong Koboy tak hanya melanggar kebijakan lokal tentang zona bebas tambang, tetapi juga memperkuat dugaan bahwa oknum bersangkutan memiliki jejaring pengamanan dan dukungan yang memungkinkan tambang ilegal tetap eksis bahkan di area yang semestinya steril.
Masyarakat Dirugikan, Negara Dilecehkan
Operasi tambang ilegal dengan alat berat di kawasan lindung membawa dampak ekologis yang luas: kerusakan vegetasi, pencemaran air, terganggunya satwa liar, dan meningkatnya risiko banjir. Sementara masyarakat hanya menjadi penonton di tengah kerusakan tanah leluhur mereka. Tidak ada kompensasi, tidak ada kontribusi, hanya jejak kerusakan.
Dari sisi sosial, ketimpangan dan ketidakadilan terasa mencolok. Para pelaku tambang mendapatkan keuntungan ekonomi, sementara masyarakat mendapatkan dampak lingkungan. Ketegangan horizontal pun mulai terasa antara mereka yang pro-tambang dan kelompok yang ingin mempertahankan hutan.
Gakkum DLHK dan Polisi Militer Harus Bertindak
Dibutuhkan tindakan tegas dan serius dari Gakkum DLHK Babel untuk bekerja sama kembali dengan KPH Sungai Simbulan melakukan penertiban lanjutan. Namun dalam konteks keterlibatan oknum militer, sudah semestinya Corps Polisi Militer dilibatkan secara resmi.
Nota Kesepahaman (MoU) antara Panglima TNI dan Kementerian KLHK harus dijadikan dasar bahwa anggota TNI yang terbukti mendukung perusakan hutan—baik sebagai pelaku langsung maupun pembeking—dapat diproses melalui jalur pidana militer dan perdata lingkungan.
Jika ini tidak ditangani segera, publik akan mempertanyakan: apakah MoU tersebut hanya formalitas belaka?
Langkah-Langkah Perlu Segera Dilakukan
1. Evaluasi Kinerja KPH dan DLHK: Penertiban tak cukup hanya dengan spanduk. Butuh patroli, penyelidikan, dan laporan berkala.
2. Koordinasi dengan POM TNI: Oknum seperti Kopral Viktor harus ditarik ke kesatuan dan diperiksa sesuai hukum militer.
3. Penegakan UU Kehutanan dan Minerba: Pidanakan pelaku utama, operator alat berat, pemodal, dan penampung hasil tambang.
4. Edukasi dan Perlindungan Warga: Masyarakat harus dilibatkan aktif dan dilindungi dari intimidasi pihak tambang.
5. Audit Perizinan dan Wilayah Tambang: Klarifikasi batas IUP dan hutan lindung harus dipublikasi untuk transparansi.
Jangan Sampai Negara Kalah oleh Oknum
Kasus tambang ilegal di Dusun Nadi dan Kolong Koboy menjadi cermin suram lemahnya penegakan hukum. Ketika oknum berseragam menjadi aktor perusak lingkungan, maka negara harus bertindak lebih keras dari biasanya.
Tidak ada kompromi bagi pelanggar hukum, apalagi ketika pelanggaran itu mengorbankan hutan lindung dan masa depan ekologis Bangka Tengah.
Jika tidak ada tindakan berarti, maka jangan salahkan masyarakat bila mereka menganggap hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil. Negara harus hadir, atau kehilangan legitimasi di mata rakyatnya. (KBO Babel)