-->

Iklan

Menu Bawah

Iklan

Halaman

Cara Perpikir Menkeu Baru Brilian Namun Perlu Keep Calm

Redaksi
Senin, 15 September 2025, September 15, 2025 WIB Last Updated 2025-09-15T11:12:08Z
Purbaya Yudhi Sadewa
Menteri Keuangan Indonesia


Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta


Apakah Kita Sudah Siap Untuk Lompatan 8 Persen?

Beberapa hari lalu saya duduk di Birawa Hall, Hotel Bidakara, dalam acara Great Lecture yang diselenggarakan oleh GREAT Institute di bawah gagasan Syahganda Nainggolan. Di sana saya menyimak paparan Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Saya apresiasi — bukan hanya karena data yang dibawa cukup jeli, tapi juga karena keberanian untuk menyampaikan gagasan perubahan arah ekonomi yang selama ini terpendam atau hanya diutarakan dalam diskusi intelektual. 


Pertanyaannya kemudian: Apakah cara berpikir Menkeu baru ini cukup untuk membawa Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen, dan sejauh mana potensi risikonya?


Rumuskan masalahnya sederhana: kita punya target ambisius — 8 persen pertumbuhan ekonomi dalam 2-3 tahun ke depan. Namun selama ini, ekonomi kita lebih sering bergerak di kisaran 5-6 persen. 


Apakah strategi baru ini mampu menggeser skala secara cepat, dan secara aman? 


Di sinilah perubahan kebijakan, signifikansi diterapkan, serta area di mana kita harus berhati-hati atau “keep calm” karena potensi ketergelincirannya.


Perubahan Kebijakan yang Diusulkan Menkeu Purbaya: Apa yang Baru

Dari paparan dan pernyataan publik terkini, beberapa perubahan signifikan terlihat:

Pertama, Dorongan Likuiditas yang Lebih Besar ke Sektor Riil. Salah satu langkah awal yang dilakukan adalah memindahkan sekitar Rp200 triliun dana pemerintah yang sebelumnya tersimpan di Bank Indonesia ke bank-bank milik negara (Himbara). 


Tujuannya jelas: memperkuat kredit ke sektor riil, agar tidak hanya dana pemerintah “mengendap” tapi benar-benar bekerja mendongkrak kegiatan usaha dan investasi.  


Kedua, Penekanan Peran Swasta dan Peran Pemerintah yang Lebih Aktif sebagai Katalisator. Purbaya berbicara tentang “mesin ekonomi swasta dan pemerintah harus bergerak bersama” untuk mengejar pertumbuhan inklusif 8 persen. 


Ini berbeda dari pendekatan sebelumnya yang cenderung lebih konservatif atau berhati-hati dalam intervensi fiskal.  


Ketiga, Fokus Pada Pertumbuhan yang Inklusif dan Transformasi Ekonomi. Tidak hanya kecepatan pertumbuhan, tetapi juga bagaimana manfaat pertumbuhan itu dirasakan masyarakat secara merata — pertumbuhan yang membawa keadilan ekonomi, bukan pertumbuhan yang “tinggi angka-angka tetapi tetap banyak tertinggal”. 


Ini diperjelas dalam diskusi dan juga dalam pengingat publik (termasuk oleh Syahganda) bahwa angka saja tidak cukup.  


Keempat, Menjaga Stabilitas Fiskal dan Anggaran yang Bertanggung Jawab. Meskipun ada dorongan untuk ekspansi likuiditas dan investasi, Menkeu baru juga menyebut bahwa anggaran Kemenkeu 2026 akan didesain untuk mendukung stabilitas fiskal dan ekonomi inklusif berkelanjutan.  


Signifikansi Dari Perubahan Ini

Untuk memahami seberapa besar perubahan ini, kita bisa gunakan analogi: bayangkan ekonomi Indonesia seperti kereta api ekspres. 


Selama ini keretanya berjalan stabil di rel yang terbatas, kecepatan moderat, penumpang banyak tapi sering tersendat di tanjakan atau jalur rusak. 


Sekarang, Menkeu baru ingin menambah tenaga lokomotif (fiskal + likuiditas), memperbaiki rel-nya (investasi, regulasi, sektor swasta), agar kereta bisa melaju di kecepatan tinggi menuju stasiun “negara berpendapatan tinggi” — target 8 persen pertumbuhan secara konsisten.


Perubahan ini signifikan karena:

Momentum dan Kepercayaan Publik: Ganti menteri, dengan ide-ide baru dan optimisme tinggi, memberi sinyal bahwa pemerintah ingin keluar dari “zona nyaman”. 


Publik dan investor melihat bahwa pemerintah tidak hanya bicara stabilitas tetapi juga akselerasi.  


Shift dalam Pengaturan Likuiditas: Dana pemerintah yang “ngendap” di BI dipindahkan ke bank komersial untuk meningkatkan kredit. 


Ini adalah pendekatan baru dalam menghubungkan surplus likuiditas dengan kebutuhan sektor riil.  


Fokus Pada Pertumbuhan Inklusif: Tidak hanya “berapa besar PDB tumbuh” tetapi bagaimana distribusi manfaatnya. 


Inilah bagian yang sering luput, dan sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial di tengah tuntutan publik yang meningkat.  


Di Mana Kebenaran dan Potensi Ketergelincirannya

Meski ada gagasan yang brilian, beberapa hal perlu diwaspadai. Analogi kereta api ekspres tadi punya risiko-risiko: jika rel belum kuat, lokomotif terlalu berat atau kecepatan terlalu tinggi bisa membuat kereta keluar jalur atau terguncang hebat. 


Berikut beberapa area potensi risiko keterlinciran kereta api express usulan Purbaya:

Pertama, Ketergantungan pada Kebijakan Fiskal yang Ekspansif Tanpa Sumber Pembiayaan yang Sehat


Bila likuiditas dan dana pemerintah dipakai terlalu agresif tanpa memperhatikan defisit, utang, dan inflasi, ini bisa mengguncang stabilitas makro. 


Publik dan pasar mungkin khawatir bahwa batas defisit APBN (biasanya dijaga di sekitar 3% dari PDB) akan longgar.  


Kedua, Efek Samping Likuiditas Terhadap Inflasi dan Nilai Tukar.

Menambah aliran kredit ke sektor riil memang bisa mempercepat pertumbuhan, tapi jika kapasitas produksi tidak ditambah dengan cepat, bisa muncul tekanan inflasi. 


Apalagi bila marjinal demand kredit nol alias publik berpikir tidak ada keuntungan jangka pendek dengan penambahan satu unit kredit baru karena daya beli belum tumbuh. 


Dan akhirnya suplai likuiditas perbankan tidak ada gunanya atau sia-sia malah menjadi mainan baru para eksekutif perbankan untuk memperkaya diri. 


Selain itu, pasar modal dan nilai tukar bisa menjadi rentan jika investor asing kehilangan kepercayaan terhadap komitmen kebijakan fiskal dan moneter.  


Ketiga, Risiko Implementasi, Birokrasi, dan Regulasi yang Lambat

Ide-ide bagus sering tertahan di birokrasi, peraturan yang belum adaptif, atau resistensi dari institusi yang terbiasa dengan cara kerja lama. 


Misalnya, mengubah alur APBN, regulasi perbankan, percepatan investasi, koordinasi antar lembaga pemerintah dan sektor swasta. 


Jika tidak diikuti dengan kecepatan dan efisiensi, janji bisa tetap janji.


Keempat, Harapan Publik yang Sangat Tinggi dan Potensi Kekecewaan Sosial

Masyarakat sekarang sangat berharap perubahan nyata—bukan hanya retorika. 


Apabila dalam 1-2 tahun target 8% tidak tercapai, atau manfaatnya tidak terasa di lapangan (misalnya lapangan kerja, inflasi, harga kebutuhan pokok), maka bisa muncul gesekan sosial dan politik. 


Ini bisa memperbesar risiko destabilitas yang malah menghambat pertumbuhan.


Jalan Tengah Antara Ambisi dan Kewaspadaan

Untuk menjaga agar perubahan ini berhasil dan tidak menjadi bom waktu, beberapa langkah mitigasi dan perkuatan perlu diambil. Langkah ini penting agar ide Purbaya semakin membumi. 


Peta Jalan (Roadmap) Kebijakan yang Jelas dan Terukur


Ya, target pertumbuhan 8% perlu. Tapi lebih dari itu, perlu rencana bagaimana: sektor apa yang akan didorong, lewat regulasi apa, lewat investasi publik dan swasta di mana, dengan target pertumbuhan tiap daerah dan tiap sektor. 


Transparansi dalam roadmap ini penting agar publik dan pasar melihat bahwa pemerintah tidak asal geber.


Pengelolaan Fiskal yang Disiplin

Menjaga defisit dalam batas toleransi, menjaga utang tetap aman, memperhatikan cadangan dan risiko fiskal. Walau dorongan likuiditas dan intervensi dibutuhkan, jangan sampai biaya jangka panjangnya membebani generasi mendatang atau memicu bubble di sektor tertentu.


Perkuat Kapasitas Produksi & Infrastruktur

Agar pertumbuhan yang dikapitalisasi dari likuiditas dan investasi tidak mengarah pada inflasi tinggi, perlu diperkuat sektor riil: industri, pertanian, manufaktur. 


Infrastruktur logistik, energi, transportasi perlu dipercepat. Regulasi yang memudahkan investasi (perizinan, kepastian hukum) harus dioptimalisasi.


Monitoring Transparan & Akuntabilitas Publik

APBN, aliran dana ke bank, pelaporan, kinerja sektor swasta/ publik harus terbuka. 


Publik perlu melihat hasil nyata: berapa lapangan kerja terbuka, bagaimana pendapatan masyarakat meningkat, bagaimana layanan publik membaik di daerah-daerah tertinggal. Transparansi akan memperkuat kepercayaan publik dan pasar.


Stabilitas Makroekonomi Sebagai Fondasi

Kebijakan moneter dan fiskal harus berjalan selaras. Bank Indonesia perlu tetap independen dan diandalkan untuk menjaga inflasi, nilai tukar. Intervensi fiskal harus memperhitungkan dampak terhadap balance of payments, kurs rupiah, dan persepsi investor internasional.


Keep Calm, Tapi Jangan Diam dan jangan Overconfidence!

Di akhir paparan di Bidakara, saya meninggalkan satu kesan kuat: cara berpikir Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa memang brilian—ambisius, jelas, optimistis, didukung data dan keyakinan bahwa Indonesia bisa melompat ke pertumbuhan 8 persen. 


Tetapi dalam analogi kereta api ekspres, kita punya keinginan kereta itu melaju sangat cepat. 


Agar tidak keluar rel, kita butuh pengemudi yang bijak: berani menginjak gas, tapi tetap memperhatikan kondisi rel, jembatan, dan cuaca.


Target 8 persen adalah bukan hanya tujuan prestasi ekonomi, tetapi kebutuhan strategis jika Indonesia ingin keluar dari middle-income trap. 


Tapi untuk menuju sana, kita harus melakukan langkah-langkah yang memperkuat sumber daya—manusia, infrastruktur, regulasi—bersamaan dengan dorongan likuiditas dan peran sektor swasta. 


Ambisi tanpa kontrol bisa berbahaya; pertumbuhan tanpa pemerataan bisa menimbulkan ketidakstabilan.


Saya berharap semua pihak—pemerintah pusat, daerah, sektor swasta, masyarakat sipil—untuk tetap kritis dan optimis. 


Kita dukung perubahan, kita awasi implementasi, dan kita dorong agar apa yang dijanjikan bisa kita rasakan bersama. 


Dengan demikian, cara berpikir brilian tadi tidak menjadi puncak harapan yang retak, melainkan fondasi bagi lompatan yang nyata.



Komentar

Tampilkan

Terkini

Entertainment

+

Opini

+