![]() |
Viral Spanduk “Mosi Tidak Percaya” di MAN Pematangsiantar: Dugaan Ketertutupan Pengelolaan Dana BOS dan Komite, Wartawan Dihalangi Masuk Sekolah |
Pematangsiantar, Selektifnews.com — Kabar mencengangkan datang dari lingkungan pendidikan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Pematangsiantar. Spanduk bertuliskan “Mosi Tidak Percaya terhadap Kepala Madrasah dan Ketua Komite” terpampang di area sekolah pada Minggu (5/10/2025) dan langsung menjadi viral di media sosial. Spanduk tersebut menjadi sorotan publik dan menimbulkan berbagai pertanyaan tentang transparansi pengelolaan Dana BOS serta Dana Komite di sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama itu.
Viralnya spanduk tersebut mengundang reaksi beragam dari masyarakat, alumni, hingga kalangan pemerhati pendidikan di Kota Pematangsiantar. Banyak pihak menilai, keberanian pemasangan spanduk itu menandakan adanya gejolak serius di tubuh internal sekolah. Publik menilai bahwa langkah ekstrem itu merupakan bentuk kekecewaan atas dugaan ketertutupan informasi dan pengelolaan dana sekolah yang tidak transparan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Madrasah (Kamad) MAN Pematangsiantar, Lintong Sirait, S.Ag, dalam konferensi pers yang digelar Rabu (8/10), menyebutkan bahwa spanduk tersebut dipasang oleh seorang oknum guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Spanduk itu dilakukan oleh oknum guru yang kerap membuat kegaduhan di madrasah,” ujarnya kepada wartawan. Lintong menegaskan pihaknya sudah melaporkan kasus tersebut kepada Kementerian Agama secara berjenjang dan mengimbau seluruh guru agar tidak terpengaruh oleh tindakan yang dapat memecah suasana belajar mengajar.
Namun, pernyataan Kepala Madrasah itu justru menimbulkan tanda tanya baru di kalangan publik. Alih-alih menjelaskan transparansi pengelolaan Dana BOS dan Dana Komite yang menjadi akar persoalan, pihak sekolah justru terlihat fokus pada pembenaran diri dan menyalahkan guru yang bersuara. Banyak kalangan menilai bahwa penyampaian aspirasi dalam bentuk “mosi tidak percaya” merupakan bentuk kritik internal yang seharusnya dijawab dengan keterbukaan, bukan dengan pengalihan isu terhadap individu tertentu.
Lebih jauh, Lintong Sirait menambahkan bahwa tindakan guru tersebut telah mencoreng nama baik madrasah. “Sebagai guru berstatus PNS seharusnya tidak melakukan pelanggaran kode etik. Tindakan seperti itu bisa mengganggu mental anak-anak,” ujarnya. Namun, di sisi lain, publik justru menilai pernyataan tersebut terkesan menutupi substansi persoalan yang lebih penting, yakni dugaan tidak transparannya pengelolaan dana publik di lembaga pendidikan negeri tersebut.
Ironisnya, ketika wartawan Selektif News mencoba menindaklanjuti isu ini dengan mengonfirmasi langsung ke pihak sekolah, upaya tersebut justru mendapat hambatan dari sekuriti sekolah bernama Iwan. Wartawan dilarang masuk ke lingkungan madrasah dengan alasan Kepala Sekolah dan Humas sedang tidak berada di tempat. Padahal, sesuai Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap tindakan yang menghalangi atau menghambat wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Tindakan penghalangan ini menunjukkan lemahnya pemahaman pihak sekolah terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk memperoleh informasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 4 Ayat (3) UU Pers, yang menyebutkan bahwa pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi. Menghalangi wartawan dalam meliput isu publik seperti pengelolaan Dana BOS dan Dana Komite berarti sama saja dengan menutup akses transparansi kepada masyarakat.
Kasus ini kini menjadi perhatian banyak pihak. Publik menuntut agar Kementerian Agama RI, khususnya Kanwil Kemenag Sumatera Utara dan Kemenag Kota Pematangsiantar, segera turun tangan melakukan audit dan investigasi terhadap pengelolaan dana di MAN Pematangsiantar. Sebab, dalam era keterbukaan informasi publik, tindakan menutup-nutupi data keuangan dan menghalangi kerja jurnalistik adalah langkah mundur bagi dunia pendidikan. Jika dugaan-dugaan ini benar adanya, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nama baik sekolah, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan berbasis agama yang seharusnya menjadi teladan dalam hal kejujuran dan integritas.